Kekasihku Matahari
Sesaat matahari menghangat
Ku jumpa ia di pagi hari
Bersama burung bernyanyi
Dan langit membiru
Semua terasa indah
Aku pun bertanya, apa yang terjadi sesaat ia meninggi?
.....Syakilla dengan gamis, kerudung, dan kaus kaki lengkap menutup aurat. Sementara, Riyan dengan baju koko dan kain sarung yang dia pakai sejak shalat isya’ berjamaah tadi. Mereka duduk dalam jarak satu meter, saling berhadapan, namun sama-sama saling menundukkan pandangan. Tampak betul bahwa paras wajah mereka memerah.
“Nga... aku agak heran, mengapa kau sangat suka sengan petani?” tanya Riyan dengan suara kaku karena tegang. Mungkin seumur hidup, dia baru pertama kali satu kamar dengan seorang wanita yang bukan keluarganya. Wanita bernama Syakilla Wardani yang sejak dibacakan sighat-Ya Riyan Perdana, ankahtuka Syakilla Wardani binti Bapak Haji Baskara bimahriha mukhtashar tafsir Ibnu Katsir, halan- tepatnya pukul sembilan pagi di Masjid Hasanah, telah resmi menjadi istrinya.
“Bukan petani, melainkan berjiwa petani,” ralat Illa.
“Eh, iya... suami yang berjiwa petani.”
“Karena... ,” Syakilla menerawangkan sepasang matanya menuju langit-langit kamar yang dicat merah jambu. Sesaat, keguguban kembali menerapnya.”Karena... seorang petani memiliki jiwa penanam, pemelihara, sekaligus pengelola. Ia menancapkan benih ke tanah yang sebelumnya telah ia gemburkan dengan penuh kasih. Lalu, katika benih berkecambah dan menjadi tanaman kecil, ia memupuknya, menyiraminya dengan air, menjaganya dari hama, dan menyianginya dari tumbuhan liar. Lantas, ketika panen tiba, ia akan memetik bulir-bulir buah dengan teliti, memasukkannya ke dalam lumbung dan memanfaaatkannya untuk kesejahteraan keluarganya. Ia memiliki kesabaran yang begitu luar biasa untuk menanti benih yang kecil itu berubah menjadi tanaman dewasa.
Syakilla semakin tertunduk ketika Riyan mencoba memandang wajahnya.”Tak ku sangka, calon istri ku ternyata begitu puitis.” desahnya.
Sang perempuan menggigit bibirnya, lalu bersuara lirih,”Calon istri?”
Riyan tersentak, diam sesaat. Namun, sejurus kemudian tertawanya meledak,”Afwan.. istri. Ya, kau adalah istriku sekarang.”
Mereka kembali saling menunduk, kikuk. Kediaman itu berlangsung cukup lama sampai akhirnya Riyan berinisiatif untuk kembali membuka percakapan.”Istriku, ku harap kau mau membantuku untuk bisa mewujudkan apa yang rngkau harapkan. Aku calon dokter, aku ingin kita tekun menyemai benih kebaikan, hingga akhirnya bersama memanen buah-buah kebaikan itu dengan sepenuih kedamaian.”
Tubuh Syakilla bergetar ketika Riyan meraih tangannya dan menempelkannya ke dadanya,”Dengarkan detak jantungku, kau dengar ada isealisme di sana.”
“A... apa idealisme.... Mas Riyan?” Lidah Syakilla terasa berat ketika menyebut panggilan “mas” kepada orang yang baru dikenalnya dua bulan silam itu.
“Sejak kecil, saya punya keinginan untuk menjadi dokter di daerah pedalaman Irian. Kita akan menjadi petani disana. Petani yang bercocok tanam amal. Maukah kau mendamping, Istriku?
“Irian, Mas?”
“Ya... sebuah bumi yang masih gelap untuk kita semua. Tapi, entah mengapa selalu ada getar tersendiri dalam hatiku jika menyebut nama itu.”
Syakilla ,memejamkan sepasang matanya, lalu mengangguk mantap,”Insya’ Allah, saya akan mendampingi Mas Riyan ke manapun kita pergi.....”
“Terimakasih, Istriku.”
Sesaat matahari menghangat
Ku jumpa ia di pagi hari
Bersama burung bernyanyi
Dan langit membiru
Semua terasa indah
Aku pun bertanya, apa yang terjadi sesaat ia meninggi?
.....Syakilla dengan gamis, kerudung, dan kaus kaki lengkap menutup aurat. Sementara, Riyan dengan baju koko dan kain sarung yang dia pakai sejak shalat isya’ berjamaah tadi. Mereka duduk dalam jarak satu meter, saling berhadapan, namun sama-sama saling menundukkan pandangan. Tampak betul bahwa paras wajah mereka memerah.
“Nga... aku agak heran, mengapa kau sangat suka sengan petani?” tanya Riyan dengan suara kaku karena tegang. Mungkin seumur hidup, dia baru pertama kali satu kamar dengan seorang wanita yang bukan keluarganya. Wanita bernama Syakilla Wardani yang sejak dibacakan sighat-Ya Riyan Perdana, ankahtuka Syakilla Wardani binti Bapak Haji Baskara bimahriha mukhtashar tafsir Ibnu Katsir, halan- tepatnya pukul sembilan pagi di Masjid Hasanah, telah resmi menjadi istrinya.
“Bukan petani, melainkan berjiwa petani,” ralat Illa.
“Eh, iya... suami yang berjiwa petani.”
“Karena... ,” Syakilla menerawangkan sepasang matanya menuju langit-langit kamar yang dicat merah jambu. Sesaat, keguguban kembali menerapnya.”Karena... seorang petani memiliki jiwa penanam, pemelihara, sekaligus pengelola. Ia menancapkan benih ke tanah yang sebelumnya telah ia gemburkan dengan penuh kasih. Lalu, katika benih berkecambah dan menjadi tanaman kecil, ia memupuknya, menyiraminya dengan air, menjaganya dari hama, dan menyianginya dari tumbuhan liar. Lantas, ketika panen tiba, ia akan memetik bulir-bulir buah dengan teliti, memasukkannya ke dalam lumbung dan memanfaaatkannya untuk kesejahteraan keluarganya. Ia memiliki kesabaran yang begitu luar biasa untuk menanti benih yang kecil itu berubah menjadi tanaman dewasa.
Syakilla semakin tertunduk ketika Riyan mencoba memandang wajahnya.”Tak ku sangka, calon istri ku ternyata begitu puitis.” desahnya.
Sang perempuan menggigit bibirnya, lalu bersuara lirih,”Calon istri?”
Riyan tersentak, diam sesaat. Namun, sejurus kemudian tertawanya meledak,”Afwan.. istri. Ya, kau adalah istriku sekarang.”
Mereka kembali saling menunduk, kikuk. Kediaman itu berlangsung cukup lama sampai akhirnya Riyan berinisiatif untuk kembali membuka percakapan.”Istriku, ku harap kau mau membantuku untuk bisa mewujudkan apa yang rngkau harapkan. Aku calon dokter, aku ingin kita tekun menyemai benih kebaikan, hingga akhirnya bersama memanen buah-buah kebaikan itu dengan sepenuih kedamaian.”
Tubuh Syakilla bergetar ketika Riyan meraih tangannya dan menempelkannya ke dadanya,”Dengarkan detak jantungku, kau dengar ada isealisme di sana.”
“A... apa idealisme.... Mas Riyan?” Lidah Syakilla terasa berat ketika menyebut panggilan “mas” kepada orang yang baru dikenalnya dua bulan silam itu.
“Sejak kecil, saya punya keinginan untuk menjadi dokter di daerah pedalaman Irian. Kita akan menjadi petani disana. Petani yang bercocok tanam amal. Maukah kau mendamping, Istriku?
“Irian, Mas?”
“Ya... sebuah bumi yang masih gelap untuk kita semua. Tapi, entah mengapa selalu ada getar tersendiri dalam hatiku jika menyebut nama itu.”
Syakilla ,memejamkan sepasang matanya, lalu mengangguk mantap,”Insya’ Allah, saya akan mendampingi Mas Riyan ke manapun kita pergi.....”
“Terimakasih, Istriku.”
novel bagus neh...
ReplyDeletesedih ceritanya...