Ujian nasional adalah waktu yang
paling saya nanti dalam setiap jenjang pendidikan. Saat duduk di bangku SD,
saya masih rajin-rajinya dianggap culun boleh juga deh, hehe.. karena
kemana-mana bawa buku, hari-hari terisi penuh untuk belajar, keluar rumah hanya
untuk ikut bimbingan belajar. Bahkan saking rajinnya buku-buku paket sampai
kusut karena setiap waktu dibuka. Waktu ujian nasional akan tiba buku seperti
nasi dan udara seperti minuman. Setiap mau masuk kelas wali kelas selalu ngasih
kuis yang di dalamnya soal-soal ujian nasional disebutnya saat itu “Sarapan
Pagi” tapi sarapan pagi soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Kalau gak bisa jawab
soalnya malah ditambah, jadi mau tidak mau setiap pagi sudah harus belajar buat
itu meski masih semseter 1.
Sorenya selain bimbel di luar pelajaran formal wali kelas ngasih
jam tambahan, masih sih metodenya yaitu tebak-tebakkan. Tiba ujian nasional
tiba, tereeett.. teret... Ibarat orang perang sudah siap dengan senjata, sudah
siap kuda, sudah siap strategi memilih soal, dan sudah ngantongi restu dari
orang tua dan guru. Saya berangkat dengan begitu PD, seragam merah putih,
sepatu hitam, pensil 2B tak lupa penghapus, penggaris, dan kaca untuk alas LJK
supaya tidak berlubang saat pengarsiran. Alhamdulillah mengerjakan soal ibarat
mengerjakan TTS, tapi TTS mah masih agak mikir kalau ini sudah libas gak pakai
mikir karena semua materi sudah nancep di otak. Dan dari usaha itu
alhamdulillah rangking ujian nasional saya masuk peringkat 25 besar tingkat
kecamatan. Hehe tapi itu saat masih unyu-unyu dulu..hehe...
Lembaran baru di MTs. Nah, waktu masuk MTs rasanya julukan kutu
buku itu hanyut ntah kemana. Hari-hari penuh dengan kegiatan, terlebih saat itu
saya diberi amanah menjadi ketua OSIS, jadi itu hampir semua ekstrakulikuler
saya ikuti, disamping itu 2 tahun berturut-turut waktu seleksi di setiap
tingkatan saya masuk kelas favorit yang di dalamnya anak-anak olimpiade. Dan disinilah
letak kelelahan saya dalam semuanya, lelah fikiran juga lelah tenanga. Bahkan
jika boleh jujur prestasi akademis saya menurun karena sudah lelah dengan kegiatan
di luar pelajaran.
Dengan jadwal Madrasah Tsanawiyah yang
masuk mulai jam ke NOL sedangkan hampir setiap hari saya pulang jam 8 malam,
karena sehabis ekstrakulikuler langsung ikut bimbingan belajar. Jadi rasanya
itu sudah capek banget, karena mencoba mengejar target kadang tidur hanya 4
jam. 4 jamnya anak MTs tidak sama dengan 4 jam mahasiswa, saat itu 4 jam sangat
sedikit. Nah.. tiba saat naik ke kelas IX fikiran saya kacau, bahkan saking
kacaunya berat badan saya naik sampai hampir 60 kg. Karena setiap kali setres,
pelampiasannya pada coklat dan snack. Bagaimana tidak setres? banyak materi
kelas VIII belum terlalu saya kuasai padahal dalam ujian jenjang SMP/MTs materi
paling banyak keluar dari kelas VIII.
Umi sempat marah kala itu,”Kamu itu kok organisasi terus, kapan
di rumahnya?? Kayak orang kantoran saja! Ayo belajar, ujian nasional sulit.
Jangan main-main.. kalau sampai begini begitu apa lagi ndak lulus, sudah umi carikan
sapi saja. Biar kamu di rumah ngurus sapi saja!”
Allah... umi benar-benar marah, dan rasanya sudah campur aduk
beneran. Sudah saya nya belum menguasai materi, dan jabatan diorganisasi belum
bisa saya rucuti sebelum 3 bulan melangkah di kelas IX karena adat turun
temurun kakak kelas yang telah selesai jabatan harus membimbing adik-adik
kelas.
Belum lagi guru-guru madrasah saat itu sering nakut-nakuti,”Anak-anak
yang jaga Ujian Nasional guru-guru dari SMP. Hati-hati guru-guru SMP itu
penjagaannya ketat jadi noleh sedikit kalian bisa tidak lulus karena dicoret.”
Allah...
takanan batin luar biasa. Namun abah nyemangati,”Abah pengen kamu masuk SMA
Favorit. Kalau kamu bisa masuk sana sudah mintamu apa abah turuti”
“Insha Allah, Bah” jawab saya dengan perasaan sedikit lega..
Akhirnya saya putuskan untuk segera melucuti semua kegiatan dan
focus belajar. Semenjak semua organisasi saya lepas saya kembali ke jalan yang
lurus. Makan ada buku, tidur bareng buku, mau nyapu belajar dulu dan
alhamdulillah semua rangkaian try out saya selalu lulus dengan keringat dan
jerih payah sendiri dengan nilai yang memuaskan.
Tiba saat ujian nasional tiba. “Bismillah” berangkat di hari
pertama sudah siap senjata. Soal saya kerjakan dengan nikmat, meski ada sih
beberapa yang sedikit sulit, tapi terus mengerjakan dengan buah fikir sendiri.
Tiba-tiba.. saat saya mengerjakan ada beberapa teman mengeluarkan sesuatu dari
sakunya, dan ternyata dia bawa hp.
“Ssstt.. ngapain bawa hp?” tanay saya
“Ndak apa-apa kok Vy, santai aja... ini aku dapet bocoran dari
katanya dari gurunya. Kamu mau? Kode mu apa?”
“Oh.. tidak terimakasih saya mengerjakan sendiri” Hati
rasanya sakit banget, ternyata ujian nasional kali ini tidak seperti yang saya
bayangkan. Akhirnya saya mencoba focus mengerjakan kembali, nah.. tidak lama
kemudian ternyata yang bawa hp tidak hanya 1 anak, namun hampir semuanya bawa.
Wah.. sakit banget rasanya. Saya belajar mati-matian untuk itu dan mereka tidak
belajar, namun dengan mudah tinggal nerima sms jawaban.
Habis ujian saya nangis, karena merasa terzolimi. Teman saya
bilang,”Kenapa kamu sedih Vy? Udah gak usah sedih, kita semua harus lulus.
Ndak ada istilah egois dalam nilai. Kita keluarga, kita harus kompak lulus.”
Sampai rumah saya cerita ke Umi
dengan ngambek,”Sudah Mi, saya ndak mau belajar. Enak sekali yang ndak usaha
dengan mudahnya dapat jawaban.”
Umi jawab,”Sudah.. Allah menilai
semua itu dari usaha nduk, bukan nilai”
Akhirnya karena saking mangkelanya,
dan rasa sakit hati yang benar-benar, saya putuskan membawa 2 hp yang saya
miliki melancarkan aksi mencari jawaban. Awalnya umi sempat melarang karena
emosi saya yang tidak terkendali campur nangis, akhirnya umi diam saja. Meski
saya membawa 2 hp, namun akhirnya saya tetap mengerjakan sendiri karena saya fikir
apa yang dikatakan umi memang benar, dan sempat mencocokan dengan jawaban yang
tersebar dari hp ke hp hampir semua jawaban saya sama.
Alhasil hari ke-3 aksi kecurangan menjadi-jadi, guru madrasah saya
sendiri membagikan kunci-kunci jawaban lewat sms dan kertas kecil. Jadi seolah
ujian nasional itu bukan sesuatu yang sakral nan special yang harusnya dilalui
dengan penuh perjuangan di akhir jenjang, namun situasinya biasa saja karena ada
soal, ada jawaban, tinggal nyalin.
Itu UAN SD dan MTs, beda lagi dengan
UAN SMA. Wah.. kali ini sulit diungkapi memang, tapi saya coba cerita. SMA
rasanya ujian nasional semakin tidak berarti dan tidak special, karena semua
SMA terlebih SMA saya yang favorit bersaing dengan SMA lainnya ingin meraih
predikat SMA dengan nilai dengan NUN tertinggi atau rata-tata tertinggi
sekabupaten dan Jawa Timur. Nah, kecurangannya luar biasa dan bukan lagi hal
tabu yang disembunyikan. Betapa tidak belum masuk ruang ujian saja semua sudah
dapat sms kunci jawaban yang dijamin 98% benar. Apa coba kalau bukan ujian
nasional hanya permainan!!!
Selain itu alasan ini dipakai karena menutupi kwalitas pendidikan
yang tidak begitu baik agar terlihat ‘Wah’ di mata pemerintah pusat. Sempat
saya bertanya pada salah satu guru,”kenapa Pak, kecurangan dimana-mana?
Bukannya itu malah menutupi borok (luka yang hampir membusuk) yang seharusnya
borok itu bukan ditutupi tapi disembuhkan?”
Beliau menjawab,”Prinsip Ujian
Nasional itu ‘Asal Pimpinan Senang’ jadi ya sudah tidak perduli mau cara apapun
yang ditempuh yang penting sekarang itu semua lulus, dan semua SMA
berlomba-lomba dapat penghargaan. Kalau nilainya dibiarkan anjlok sedang kamu
tau sendiri kan Vy anak sekarang gimana! Kebanyakan malas belajar, internetan
terus, kalau gak gitu kluyuran kemana-mana sedangkan standar pendidikan dari
tahun ke tahun naik. Nah.. kalau mereka ini dibiarkan ndak lulus, sekolah kita
malah akan jadi sorotan,’eh.. katanya favorit tapi ternyata gurunya tidak mampu
mendidik’ hayo.. dilema juga kan kita sebagai guru!”
Saya mencoba berfikir dan menelaah
benar-benar tujuan diadakannya ujian nasional dan dapat saya simpulkan diadakan
ujian nasional itu tidaklah salah, karena ini merupakan upaya meningkatkan
kwalitas pendidikan di negara kita. Menolak ujian nasioal dengan demo, mogok
makan, dan semacamnya saya fikir bukan solusi terbaik karena ujian nasional
bukan untuk di tolak namun untuk dihadapi dengan persenjataan ikhtiar, do’a dan
tawakal.
Okey deh.. Bagi anak yang rajin it’s no problem dengan hal
ini karena apa pun ujiannya akan tetap dilalui dengan semangat man jadda wajaada, namun bagi mereka yang tidak
mau belajar seolah menjadi suatu momok yang begitu menakutkan dan bahkan
umumnya nih ya sekarang saking takutnya malah menjauhkan diri dengan belajar
katanya gak mau pusing-pusing mikir UAN. Anak semacam ini mah kalau gak lulus
dibiarkan aja!hehe.. just kidding :D
Alasan yang membuat saya kurang
setuju dengan ujian nasional adalah rasa iba dengan nasib teman-teman saya yang
ada di NTT, Papua, Maluku, Kalimantan, dan propinsi yang masih minim sekali
fasilitas pendidikannya. Alhmdulillah.. Banyak bersyukur hidup di tanah jawa
dengan fasilitas pendidikan yang baik terutama di sekolah favorit, melihat sisi
lain di propinsi-propinsi itu hati begitu sedih. Mereka yang disana belajar
dibawa bangunan yang tidak sekokoh dan seindah sekolah-sekolah di jawa, bangku
dan kursinya reot, apa lagi persediaan buku pun juga minim, dan
fasilitas-fasilitas lain yang begitu minim. Jadi saya pun memaklumi kalau
mereka-mereka merasa berat menghadapi ujian nasional, bahkan banyak yang tidak
lulus.
Dan kini saya mempertanyakan
keadilan pendidikan!! Pemerintah ingin generasi penerusnya maju, menuntut harus
ini harus itu namun hak yang seharusnya di dapat oleh siswa tidak diberikan
secara rata. Kalau sekarang ada istilah sertifikasi untuk guru, saya fikir itu
bukan solusi utama untuk meningkatkan kwalitas pendidikan. Memang dengan adanya
sertifikasi guru dituntut semakin kreatif dan bersemangat membimbing siswa
terutama untuk siswa pemalas yang saya katakan di atas, namun saya kurang
setuju jika hal ini di dahulukan harusnya yang didulukan adalah pemerataan fasilitas
penunjang pembelajaran.
Sekolah-sekolah yang rusak diperbaiki, media-media pembelajaran
ditambah, buku-buku lebih banyak disubsidi dari pemerintah, memberikan beasiswa
yang seluas-luasnya. Apalagi buku paket yang harganya mencapai ratusan ribu,
ini perlu jadi bahan pertimbangan pemerintah untuk melakukan subsidi buku. Nah..
Kalau semua hak telah terpenuhi maka saya kurang sependapat jika ada orang-orang
yang menolak ujian nasional.
Namun kalau memang pemerintah belum siap dengan hal itu lebih baik
tidak usah ada ujian nasional dari pada terjadi ketumpang tindihan pendidikan,
yang mengakibatkan pencemaran sistem namun
terus saja ditambah zat ini itu dengan berbagai cara agar tetap bagus. Ini namanya
pembohongan diri juga pembodohan generasi. Nilai bagus tapi bukan hasil
keringat sendiri malu kalau 10 tahun lagi diceritakan anak cucu.
Disinipun saya memahami segala sesuatu tidak ada yang sempurna,
semua mempunyai sisi positif juga sisi negatif namun ada baiknya kita mencoba
berfikir cerdas mengguraikan sisi negatif menjadi sesuatu yang positif. Bila
kita berkata “Tolak Ujian Nasional” hanya untuk menutupi kemalasan belajar itu
bukan solusi yang benar.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.. “ (QS. Al Baqoroh : 286)
Yups, let's change our lives with the book.
And if we think learning just for the life of the world, due to the end of our
lives is the hereafter. Come learn to Scrip live up to the hereafter!