Thursday, December 29, 2011

Perjuangan di Tengah Lautan Darah

Posted by Devy Ratriana Amiati at 9:18 AM


Perkenalkan nama ku Binti Ummami, aku tinggal di sebuah desa yang masih sangat sepi karena masuk kawasan pelosok. Bapak ku hanya bekerja sebagai buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, sedangkan mak ku hanya ibu rumah tangga yang selalu siap menjadi asisten pribadi bapak baik saat menanam padi atau mencarikan rumput untuk 2 ekor kambing milik bapak. Apabila sawah garapan bapak telah memanen hasil dari sawah tersebut akan di bagi dengan Pak Kirman (pemilik sawah) yang akan mendapat 70% dari hasil panen dan bapak sendiri mendapat 30% dari hasil tersebut.

“Binti.. golek o bayem neng mburi omah!” teriak mak saat aku sedang asyik bermain bersama teman-teman ku *Binti cari bayam di belakang rumah*

“Inggeh Mak, Adah’e wonten pundi?” *Iya Ibu, wadahnya ada di mana?*

“Golek ono dewe, paling neng nduwur lumbu?” sahut mak *Cari sendiri, mungkin ada di atas lumbung padi*

Aku pun bergegas mengambil wadah yang disebut irek, irek adalah wadah yang mirip jaring yang terbuat dari bambu. Keluarga kami hidup serba pas-pasan, bahkan untuk makan sehari-hari kami mengandalkan sayur-sayuran yang di tanam mak di pekarangan belakang rumah. Meski hampir setiap hari kami hanya lauk bayam kukus sama sambal, kadang kala hanya ketela.

Pada suatu hari bapak kami sangat putus asa karena Mas Dayani, aku, dan adik-adik ku hanya selisih 1 tahun dan semua bersekolah sedangkan krisis ekonomi karena G30S PKI membuat bapak kesulitan menambah penghasilan terlebih bapak adalah salah satu anggota pengajian Muhammadiyah dimana ketua Muhammadiyah di dusun saat itu adalah Jegal atau pembunuh PKI berdarah dingin. Beliau Mbah Dullah tokoh pemberani, entah berapa ratus kepala PKI yang telah dia penggal dengan pedang miliknya, dan hal itu membuat bapak tak dapat leluasa mencari nafkah karena ancaman yang datang sewaktu-waktu.

Saat itu darah seperti air dalam kubangan, dimana-mana darah. Bahkan di gang-gang banyak sekali bekas-bekas darah serta potongan kepala atau anggota tubuh yang masih berserakan. Hingga sungai kecil pun tak lagi bening karena berubah warna menjadi merah, bekas darah pemenggalan. Kadang saat pagi masih bisa bercakap-cakap dengan tetangga, bisa jadi siang atau sore kepala tetangga sudah berada di depan rumah dan tubuhnya tertancap di bambu runcing yang di tanam di depan rumahnya. Suasana yang sangat menyeramkan.

Sebenarnya bapak pernah akan diangkat menjadi gegawai negeri di sekolah rakyat, karena bapak adalah pemuda paling cerdas diantara teman-teman sebayanya bahkan sampai lanjut usia pun daya hitung serta kemampuan bapak dalam menghafal masih sangat kuat, namun sayang pegawai negeri saat itu gajinya sangat minim mungkin hanya dapat digunakan untuk makan 2 minggu apalagi saudara ku banyak.

Saat selesai pengajian, bapak mengadukan masalahnya pada Mbah Dullah

“Mbah Dullah..” sapa bapak

“Ono opo Soetawi?” *Ada apa Soetawi?*

“Mbah, anak kulo katah, lan sedoyo sekolah. Ing wanci negara ngeten niki sak estu kulo ragu saget mbiayai lare-lare nganti lulus“ Ungkap bapak ku dengan menunduk *Mbah, anak saya banyak dan semuanya sekolah. Dalam kondisi negara kita yang seperti ini saya ragu dapat membiayai mereka sampai lulus*

“Ora usah binggung! Gusti Allah kuwi Sugeh!” sahut Mbah Dullah *Tidak usah binggung! Allah itu Kaya*

“ Sugeh pripun, Mbah?” *Kaya bagaimana, Mbah?*

“Bocah saiki sok seng bakal nerus ake perjuangan, masalah biaya ojo dipikir nemen-nemen. Gusti Allah kuwi sugeh, bondho neng ndonyo iki akeh karek awake dewe ki gelem nggolek opo ora.” *Anak sekarang nantinya akan meneruskan perjuanagan, soal biaya tidak usah dipikir terlalu dalam. Allah itu kaya, harta di dunia ini banyak tinggal kita mau atau tidak mencarinya*

Sejenak bapak terdiam...

“Soetawi!” Mbah Dullah menepuk pundak bapak

“Inggeh Mbah” *Iya Mbah*

“Gusti Allah bakal ngabulne donggo mu, seng penting usaha ojo lali pangeleng-eleng opo wae seng ono Al Quran lan pesane kanjeng nabi Muhammad” *Allah pasti mengabulkan do’a mu, yang penting usaha dan jangan lupa pesan yang terkandung dalam Al Quran dan Asunnah*

“Ngapunten mbah, kulo nggeh jerih kaleh ukoro PKI akhir-akhir niki” *Maaf mbah, saya juga takut dengan ulah PKI akhir-akhir ini*

“Gusti Allah seng bakal njogo awakmu, ora usah wedhi!” *Allah yang akan menjagamu, tidak usah takut*

Ucapan Mbah Dullah itu seakan menjadi obor semangat bapak untuk tetap menyekolahkan kami. Semenjak itu bapak dan mak Babat Alas (pergi ke hutan) dan membuat Gogo (ladang di atas gunung). Disana bapak dan mak membangun gubuk di atas pohon agar tidak diganggu binatang buas, yah maklum saat itu pegunungan selatan masih angker konon masih banyak penghuninya baik binatang buas maupun makhluk halus sekaligus menjaga ladang.


Berminggu-minggu bapak dan mak tinggal di hutan dan setiap pulang selalu membawa hasil bumi yang alhamdulillah selalu dapat kami jual untuk biaya sekolah. Alhamdulillah aku dan Sulasih adik bungsu ku dapat menyelesaikan S1 sedangkan Mas Dayani, Sumiatin, dan Sri dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang SMA. Semua itu berkat kerja keras bapak hingga kami menjadi orang berkecukupan dan melahirkan anak-anak cerdas. Kini cerita itu akan selalu menjadi sejarah yang tak akan pernah kami lupakan.

0 comments:

Post a Comment

Assalamu'alaikum wr.wb

Thursday, December 29, 2011

Perjuangan di Tengah Lautan Darah



Perkenalkan nama ku Binti Ummami, aku tinggal di sebuah desa yang masih sangat sepi karena masuk kawasan pelosok. Bapak ku hanya bekerja sebagai buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, sedangkan mak ku hanya ibu rumah tangga yang selalu siap menjadi asisten pribadi bapak baik saat menanam padi atau mencarikan rumput untuk 2 ekor kambing milik bapak. Apabila sawah garapan bapak telah memanen hasil dari sawah tersebut akan di bagi dengan Pak Kirman (pemilik sawah) yang akan mendapat 70% dari hasil panen dan bapak sendiri mendapat 30% dari hasil tersebut.

“Binti.. golek o bayem neng mburi omah!” teriak mak saat aku sedang asyik bermain bersama teman-teman ku *Binti cari bayam di belakang rumah*

“Inggeh Mak, Adah’e wonten pundi?” *Iya Ibu, wadahnya ada di mana?*

“Golek ono dewe, paling neng nduwur lumbu?” sahut mak *Cari sendiri, mungkin ada di atas lumbung padi*

Aku pun bergegas mengambil wadah yang disebut irek, irek adalah wadah yang mirip jaring yang terbuat dari bambu. Keluarga kami hidup serba pas-pasan, bahkan untuk makan sehari-hari kami mengandalkan sayur-sayuran yang di tanam mak di pekarangan belakang rumah. Meski hampir setiap hari kami hanya lauk bayam kukus sama sambal, kadang kala hanya ketela.

Pada suatu hari bapak kami sangat putus asa karena Mas Dayani, aku, dan adik-adik ku hanya selisih 1 tahun dan semua bersekolah sedangkan krisis ekonomi karena G30S PKI membuat bapak kesulitan menambah penghasilan terlebih bapak adalah salah satu anggota pengajian Muhammadiyah dimana ketua Muhammadiyah di dusun saat itu adalah Jegal atau pembunuh PKI berdarah dingin. Beliau Mbah Dullah tokoh pemberani, entah berapa ratus kepala PKI yang telah dia penggal dengan pedang miliknya, dan hal itu membuat bapak tak dapat leluasa mencari nafkah karena ancaman yang datang sewaktu-waktu.

Saat itu darah seperti air dalam kubangan, dimana-mana darah. Bahkan di gang-gang banyak sekali bekas-bekas darah serta potongan kepala atau anggota tubuh yang masih berserakan. Hingga sungai kecil pun tak lagi bening karena berubah warna menjadi merah, bekas darah pemenggalan. Kadang saat pagi masih bisa bercakap-cakap dengan tetangga, bisa jadi siang atau sore kepala tetangga sudah berada di depan rumah dan tubuhnya tertancap di bambu runcing yang di tanam di depan rumahnya. Suasana yang sangat menyeramkan.

Sebenarnya bapak pernah akan diangkat menjadi gegawai negeri di sekolah rakyat, karena bapak adalah pemuda paling cerdas diantara teman-teman sebayanya bahkan sampai lanjut usia pun daya hitung serta kemampuan bapak dalam menghafal masih sangat kuat, namun sayang pegawai negeri saat itu gajinya sangat minim mungkin hanya dapat digunakan untuk makan 2 minggu apalagi saudara ku banyak.

Saat selesai pengajian, bapak mengadukan masalahnya pada Mbah Dullah

“Mbah Dullah..” sapa bapak

“Ono opo Soetawi?” *Ada apa Soetawi?*

“Mbah, anak kulo katah, lan sedoyo sekolah. Ing wanci negara ngeten niki sak estu kulo ragu saget mbiayai lare-lare nganti lulus“ Ungkap bapak ku dengan menunduk *Mbah, anak saya banyak dan semuanya sekolah. Dalam kondisi negara kita yang seperti ini saya ragu dapat membiayai mereka sampai lulus*

“Ora usah binggung! Gusti Allah kuwi Sugeh!” sahut Mbah Dullah *Tidak usah binggung! Allah itu Kaya*

“ Sugeh pripun, Mbah?” *Kaya bagaimana, Mbah?*

“Bocah saiki sok seng bakal nerus ake perjuangan, masalah biaya ojo dipikir nemen-nemen. Gusti Allah kuwi sugeh, bondho neng ndonyo iki akeh karek awake dewe ki gelem nggolek opo ora.” *Anak sekarang nantinya akan meneruskan perjuanagan, soal biaya tidak usah dipikir terlalu dalam. Allah itu kaya, harta di dunia ini banyak tinggal kita mau atau tidak mencarinya*

Sejenak bapak terdiam...

“Soetawi!” Mbah Dullah menepuk pundak bapak

“Inggeh Mbah” *Iya Mbah*

“Gusti Allah bakal ngabulne donggo mu, seng penting usaha ojo lali pangeleng-eleng opo wae seng ono Al Quran lan pesane kanjeng nabi Muhammad” *Allah pasti mengabulkan do’a mu, yang penting usaha dan jangan lupa pesan yang terkandung dalam Al Quran dan Asunnah*

“Ngapunten mbah, kulo nggeh jerih kaleh ukoro PKI akhir-akhir niki” *Maaf mbah, saya juga takut dengan ulah PKI akhir-akhir ini*

“Gusti Allah seng bakal njogo awakmu, ora usah wedhi!” *Allah yang akan menjagamu, tidak usah takut*

Ucapan Mbah Dullah itu seakan menjadi obor semangat bapak untuk tetap menyekolahkan kami. Semenjak itu bapak dan mak Babat Alas (pergi ke hutan) dan membuat Gogo (ladang di atas gunung). Disana bapak dan mak membangun gubuk di atas pohon agar tidak diganggu binatang buas, yah maklum saat itu pegunungan selatan masih angker konon masih banyak penghuninya baik binatang buas maupun makhluk halus sekaligus menjaga ladang.


Berminggu-minggu bapak dan mak tinggal di hutan dan setiap pulang selalu membawa hasil bumi yang alhamdulillah selalu dapat kami jual untuk biaya sekolah. Alhamdulillah aku dan Sulasih adik bungsu ku dapat menyelesaikan S1 sedangkan Mas Dayani, Sumiatin, dan Sri dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang SMA. Semua itu berkat kerja keras bapak hingga kami menjadi orang berkecukupan dan melahirkan anak-anak cerdas. Kini cerita itu akan selalu menjadi sejarah yang tak akan pernah kami lupakan.

No comments:

Post a Comment

Assalamu'alaikum wr.wb

 

Rainbow Story Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea