Tuesday, December 27, 2011

Rindu yang Membeku

Posted by Devy Ratriana Amiati at 4:00 PM




Hujan dibalik mendung menghantarkan sunyi dalam rintihan siang kelabu. Seorang anak desa duduk di depan jendela, mencorat-coret embun yang menempel di balik kaca bekas hujan yang sejak semalaman.

"Terlihat begitu asyik kau rupanya!" suara dari balik dapur tua yang telah reot, dan perabotan yang tak lagi dapat dibilang layak

"Hihihi... Ini aku, ini ibu, ini ayah" tawanya yang sedang menghayal

"Kenapa kau ini, ayo jual petai ini di pasar!" bisik Si Mbah dengan begitu hangat

"Astagfirullahal'adzim... iya Mbah"

Hakim pun bergegeas mengambil sepeda tua yang telah berkarat yang bersandar digedek (tembok dari rajutan bambu tipis).

Perkenalkan dia adalah Muhammad Hakim Ramadhan. Lahir di Saudi Arabia, 7 tahun yang lalu. Sejak lahir dia tidak tau siapa keduanya orang tuanya. Karena ibunya menjadi TKI sejak berusia 16 tahun dan ditahun kepulangannya dia kembali ke kampung dengan membawa hakim kecil. Lalu kembali lagi ke Arab dan sekarang keberadaannya tak lagi diketahui. Banyak orang menyebut Hakim anak Import, yah..Terlihat kasar memang, namun identitas itu tak dapat hilang bak tittle seseorang yang telah menjadi sarjana.

"Kring.. Kring..." bel nyaring itu menandakan bahwa dia telah bersiap menjajakan dagangannya.

"Ibu, ayah, aku disini merindukanmu! Allahuakbar!!" Itulah teriakannya dengan berkaca-kaca setiap kali akan mengendarai sepedah tua warisan almarhum Mbah Paijan, mbah kakungnya.

Karena rumah yang berada di tengah persawahan, membuatnya harus melewati jalan kecil ditengah sawah sambil menuntun sepedahnya,"Petai bakar Enak... Petai bakar Enak"

Sesekali orang-orang yang sedang Ndaud (mencabuti rumput ditengah padi) memanggilnya dan membeli petai dagangannya. Kadang pula malah diajak makan bersama mereka. Pagi itu Lek Jinem dan keluarganya sedang mendaud sawah.

"Petai... Petai..." suara Hakim terdengar dari timur laut

"Petai Le!!"

"Iya Lek, sebentar..." bergegas iya naik sepedah dan menggayuhnya sekuat tenaga

"huh.. Hah.. Huh.. Hah... Alhamdulillah sampai" nafasnya tersental-sental

"Ini Lek, beli berapa?"

"loro ae Le!"

Diambilkannya oleh Hakim, sambil mengambil dan memilihkan petai terbaik sambil berdendang

Keruh hati memandang padi
Buih kasih yang ku nanti
mengambang hangat dalam
rindu peluk kasih mu
Tikus-tikus sawah itu ikuti ku
Mencari jejak yang terbelenggu gelembung waktu
menuai rindu yang kian membeku

"bernyanyi apa cah bagus?" sambil mengelus rambut yang hitam lebat blesteran Arab-Jawa itu

Hakim pun menangis, hmm.. Semoga Allah selalu menjaga dan memberi masa depan yang baik untuk anak-anak TKI yang bernasib seperti hakim. Amien

0 comments:

Post a Comment

Assalamu'alaikum wr.wb

Tuesday, December 27, 2011

Rindu yang Membeku





Hujan dibalik mendung menghantarkan sunyi dalam rintihan siang kelabu. Seorang anak desa duduk di depan jendela, mencorat-coret embun yang menempel di balik kaca bekas hujan yang sejak semalaman.

"Terlihat begitu asyik kau rupanya!" suara dari balik dapur tua yang telah reot, dan perabotan yang tak lagi dapat dibilang layak

"Hihihi... Ini aku, ini ibu, ini ayah" tawanya yang sedang menghayal

"Kenapa kau ini, ayo jual petai ini di pasar!" bisik Si Mbah dengan begitu hangat

"Astagfirullahal'adzim... iya Mbah"

Hakim pun bergegeas mengambil sepeda tua yang telah berkarat yang bersandar digedek (tembok dari rajutan bambu tipis).

Perkenalkan dia adalah Muhammad Hakim Ramadhan. Lahir di Saudi Arabia, 7 tahun yang lalu. Sejak lahir dia tidak tau siapa keduanya orang tuanya. Karena ibunya menjadi TKI sejak berusia 16 tahun dan ditahun kepulangannya dia kembali ke kampung dengan membawa hakim kecil. Lalu kembali lagi ke Arab dan sekarang keberadaannya tak lagi diketahui. Banyak orang menyebut Hakim anak Import, yah..Terlihat kasar memang, namun identitas itu tak dapat hilang bak tittle seseorang yang telah menjadi sarjana.

"Kring.. Kring..." bel nyaring itu menandakan bahwa dia telah bersiap menjajakan dagangannya.

"Ibu, ayah, aku disini merindukanmu! Allahuakbar!!" Itulah teriakannya dengan berkaca-kaca setiap kali akan mengendarai sepedah tua warisan almarhum Mbah Paijan, mbah kakungnya.

Karena rumah yang berada di tengah persawahan, membuatnya harus melewati jalan kecil ditengah sawah sambil menuntun sepedahnya,"Petai bakar Enak... Petai bakar Enak"

Sesekali orang-orang yang sedang Ndaud (mencabuti rumput ditengah padi) memanggilnya dan membeli petai dagangannya. Kadang pula malah diajak makan bersama mereka. Pagi itu Lek Jinem dan keluarganya sedang mendaud sawah.

"Petai... Petai..." suara Hakim terdengar dari timur laut

"Petai Le!!"

"Iya Lek, sebentar..." bergegas iya naik sepedah dan menggayuhnya sekuat tenaga

"huh.. Hah.. Huh.. Hah... Alhamdulillah sampai" nafasnya tersental-sental

"Ini Lek, beli berapa?"

"loro ae Le!"

Diambilkannya oleh Hakim, sambil mengambil dan memilihkan petai terbaik sambil berdendang

Keruh hati memandang padi
Buih kasih yang ku nanti
mengambang hangat dalam
rindu peluk kasih mu
Tikus-tikus sawah itu ikuti ku
Mencari jejak yang terbelenggu gelembung waktu
menuai rindu yang kian membeku

"bernyanyi apa cah bagus?" sambil mengelus rambut yang hitam lebat blesteran Arab-Jawa itu

Hakim pun menangis, hmm.. Semoga Allah selalu menjaga dan memberi masa depan yang baik untuk anak-anak TKI yang bernasib seperti hakim. Amien

No comments:

Post a Comment

Assalamu'alaikum wr.wb

 

Rainbow Story Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea