Bismillahirrohmanirrohim.
“Persamaan Gender” ntahlah bertahun-tahun ini saya mencoba mencerna makna dari
kalimat tersebut, beberapa tahun lalu saya sempat menulis pula sebuah tulisan
yang berjudul “Realita Perbandingan Gender” ntah di blog ini saya mengganti
judulnya dengan apa saya lupa. Namun, garis besar dari tulisan saya 3 tahun
silam membahas, mengupas pemahaman yang seharusnya diterapkan tentang makna
sebenarnya persamaan gender yang tidak menyimpang dari kaidah-kaidah yang
terdapat dalam Din islam.
Dalam kisah yang lalu saya
mengupas mengenai perjuangan Ibu Kartini yang terus belajar dan memperjuangkan
hak pendidikan atas wanita dan itu merupakan nilai plus yang wajib di akui. Di
fihak yang lain saya membaca dari beberapa media masa yang selalu up date,
persamaan gender saat ini menjadi masalah karena istilah “Persamaan Gender”
dijadikan senjata misalnya alasan perceraian, issue-issue sosial dan lain
sebagainya. Selain itu issue “Persamaan Gender” pun meluas dihubung-hubungkan
dengan “HAM”, berlanjut dirasuki sistem liberal oleh Irsyad Manji yang
memboyong JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan aksinya yang memuakkan, dan
lain-lain.
Karena issue publik tersebut saya yang dulunya setuju dengan “Aksi
Persamaan Gender” dan sering kali menggembar-gemborkan dalam sosialisasi di LSM
sekarang menjadi minder dan merasa menjadi salah satu biang kerok dari aksi
wanita-wanita yang menjadikan “Persamaan Gender” sebagai alasan untuk
melanggkahi kodrat.
“Kaum laki-laki adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)..” (An Nisa: 34)
Ayat dalam Al Quran tersbut bukankah sudah jelas menegaskan bahwa seperti
apapun kedudukan wanita tetaplah dibawah laki-laki. Ketika seorang wanita lebih
asik dengan dunianya, sedangkan dia lupa akan kewajibannya mengurus anak,
melayani suami itu tidak dibenarkan dalam agama kita.
Kita sering melihat di masa ini,
sebutan-sebutan wanita modern yang khas dengan julukan wanita karier pun tidak
lah asing lagi. Pernah ada suatu pertanyaan dari teman saya,”Kalau
sudah lulus nanti aku pengen ngambil Sp. BM (Spesialis Bedah Mulut), kamu mau
ngambil apa Vy?”
saya binggung juga ditanya seperti itu karena dilain fihak ingin
meneruskan S2 atau Spesialis tapi dilain fihak saya teringat kata-kata ibuk
saya 2 tahun silam,”Kamu itu lo sejak kelas VII MTs sampai sekarang kok ndak
pernah istirahat, keliling kecamatan terus kalau gak gitu keliling kabupaten
terus. Cita-cita mu ki opo?”
Saya pun
menjawab,”Aktivis sosial bidang kesehatan dan perjuangan hak anak”
“Aktivis?”
“Iya buk,
saya pengen gabung di UNICEF”
Ibuk pun
menyahut, dan kala itu saya yang masih aktif di salah satu LSM Anak di kota
saya yang awalnya semangat 100% tinggal 75%.
“Apa kamu
fikir semudah itu, Nduk? Iya sekarang kamu belum punya tanggungan keluarga bisa
leha-leha keliling jawa timur, ikut even ke sana kemari, jungkir balik dengan
kegiatan-kegiatan mu tapi kalau kamu sudah punya suami ibaratnya kamu tidak
mengurus dirimu sendiri. Apa kamu bangga menjadi aktivis sedangkan anakmu di
rumah keluyuran, gak terurus, apa kamu bangga menjadi aktivis dikenal banyak
orang tapi kamu jarang bertemu suamimu, jarang menemaninya di rumah? Mereka
berdua butuh kasih sayang dan kehangatanmu. Pikirkan lagi cita-cita itu!”
Nasehat itu
seolah menancap benar-benar dalam angan saya sampai sekarang.
Sempat saya
berfikir pula,”Lalu apa tujuan kuliah di kedokteran gigi ini kalau kelak
wanita ujung-ujungnya di rumah, ngurus anak, melayani suami?”
Pemikiran itu
seketika dilindas oleh ingatan saya akan perkataan guru ekonomi saya saat kelas
IX MTs,”Besok kalian kelak akan menjadi ibu, di rumah bersama anak dan
menjadi asisten pribadi suami namun satu yang perlu kalian ingat jadilah ibu
rumah tangga yang berkwalitas fi dunya wal akhirat. Laki-laki termulia lahir
dari rahim ibu rumah tangga yang mulia (Ibunda Rasulullah), ulama-ulama besar
seperti Imam Bukhori lahir dari ibu rumah tangga yang cerdas, ilmuwan-ilmuwan
terkemuka lahir dalam dekapan dan kehangatan seorang ibu.”
Sekiranya pemikiran-pemikiran
mereka itu memang kolot, tapi saya turut membenarkan dan meyakini perkataan
neliau-beliau tersebut. Kini pun saya masih belajar mencari solusi apa yang
bisa saya ambil sehingga semuanya dapat berjalan, namun tetap ada di rumah
bersama mereka *Menghayal sebentar kalau sudah nikah, wakakaka :D*
Issue persamaan gender memang
mengkolotkan secara saklak pemikiran-pemikiran ibuk dan guru ekonomi saya
tersebut. Buktinya di TV sampai ada tanyangan “Suami-suami Takut Istri”,
biasanya issue-issue publik yang hangat di TV kan sebagai gambaran “Oh itu yang
saat ini terjadi pada bangsa ini”. Tidak usah jauh-jauh di TV, disekitar kita
pun banyak kasus-kasus semacam itu. Ibu jadi bapak, bapak jadi ibu. Bapak
masak, menyuapin anak, mencuci baju, ibu bekerja di luar rumah.
Wanita diciptakan di dunia ini dengan maksut menjadi pasangan hidup serta
pendidik pertama dan utama anak-anak yang dilahirkannya. Teringat perkataan
ustadz saya beberapa waktu lalu,”Andai kata antara laki-laki dan perempuan
selalu saling memahami satu dengan yang lain bahwa dunia ini jauh sangat
singkat dibanding akhirat dan tujuan utama pernikahan adalah mencari bekal
kehidupan yang sebenar-benarnya di akhirat, maka tidak akan ada ketumpang
tindihan atau rasa menang sendiri diantara keduanya”
Mari sama-sama belajar, tulisan ini adalah
realita dan problema yang perlu diambil solusinya agar kita dapat sama-sama
memboyong keluarga kita berkumpul di Jannah FirdausNya. Amin Ya Robb
“Dan para wanita mempunyai hak-hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan dari istrinya, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (AL
Baqarah: 228)
0 comments:
Post a Comment
Assalamu'alaikum wr.wb