Sore, suasana di desa ku begitu sepi ya tak ubahnya seperti
hari-hari biasanya meskipun ribuan pecinta alam sejawa timur baru saja berangkat
menjelajahi dan menikmati beberapa trap penjelajahan keren di daerah
pantai selatan tepatnya belakang gunung perbatasan patai di desa ku.
Alhamdulillah sore ini begitu terang, sejak setelah menyelesaikan tugas rumah
di akhir pekan mulai dari menyapu, ke pasar, cuci piring dan lain-lain ku
selesaikan novel Negeri 5 Menara karya A. Fuad yang kemarin aku pinjam dari
Mbak Sisca teman satu fakultas ku yang telah menyelesaikan D3 dan melanjutkan S1
nya di fakultas yang sama dengan ku kembali di tingkat 1.
Mbak Sisca mempunya kegemaran yang sama dengan ku, yaitu berdiskusi
masalah agama selain diskusi masalah perawatan gigi atau yang berhubungan
dengan ilmu gigi. Maklum aku masih NOL sedangkan Mbak Sisca sudah 3 tahun
bercinta dengan hal-hal berbau gigi bahkan karena fahamnya dengan gigi aku
sering mengangguk-angguk keheranan bila ngobrol atau sekedar main ke tempat kos
ku belajar bersama. Selain itu kami punya hobi yang sama yaitu membaca novel
yang berbau agama, berwarna pondok atau timur tengah. Mungkin kegemaran Mbak
Sisca itu muncul karena pujaan hatinya menuntut ilmu di Al-Azhar dan sering
bercurhat-curhatan tentang situasi di keagamisan anak-anak pondok kekasihnya
juga kecemerlangan kekasihnya belajar di timur tengah. Semakin Mbak Siska
bercerita semakin pula aku minder dan hanyut dalam pertanyaan-pertanyaan konyol
yang tak lagi dapat dijawab karena sudah telat,“Andai dulu aku ke Mantingan,
ah....!!”
Tidur di kamar ukuran 4x5 dengan fentilasi yang lebar dan posisi
tempat tidur yang tepat disamping jendela. Ku buka lembar demi lembar novel
Negeri 5 Menara. Dengan tatapan kesamping atas yang langsung menatap awan serta
posisi yang begitu strategis untuk menenangkan diri dengan deretan gunung
selatan yang membentengi Samudra Hindia dengan Kabupaten Tulungagung mudah
dilihat dari kamar ku yang berada di lantai dua, dan angin yang selatan yang
begitu dingin. Lembar demi lembar ku hayati, ku resapi, dan alhamdulillah satu
persatu rasa penasaran ku dengan pondok yang dulunya tak jadi aku masuki karena
silang pendapat dapat ku ketahui.
“Hmmm... Aku tidak bisa ke sana, semoga anak ku bisa ke sana. Biar
tak seperti ku yang naik turun bertempur dengan nafsu Dunia Vs Akhirat yang
sering kali nafsu dunia memenangkan kompetisi hati karena lingkungan” gumam ku
diiringi senyum 10 cm seraya menatap langit.
Tak terasa dari pagi, break sebentar sholat duhur dan kemudian membaca
lagi membawa ku tertidur bersama kisah-kisah dalam cerita. Tak terasa jam 14.59
adzan dari masjid kecamatan yang berada di dekat rumah berkumandang,”Allahuakbar..
Allahuakbar...” suara Pak Suyono, respek mata ku terbelalak langsung membuang
kantuk dan rasa malas, menyemangati diri dengan bertepuk tangan dan lari menuju
kamar mandi karena setiap minggu sore ada jadwal mengaji private bersama Ustadz
yang membimbing ku.
Ku ambil mukena, dan Al Quran mini ku. Ku kayuh sepeda mini jadul
yang dibelikan bapak saat aku masih kelas 4 SD. Didorong angin selatan berdesir
menuju utara memperingan kayuhan ku melintasi rumah demi rumah, perempatan kecamatan
dan sampailah di masjid,”Alhamdulillah masih tertinggal 1 rakaat”
Setelah berdzikir panjang, tepat pukul 15.31 beliau bangkit dan
mengambil Al Quran besar dari Saudi Arabia milik Masjid, dan aku pun bergegas
mengambil meja pajang yang masih tersisa yang beberapa telah diambil anak-anak
Madrasah Diniyah untuk mengaji Al Quran, tauhid, hadits, bahasa arab, dll. Dan
aku pun harus berbagi tempat dengan anak-anak SD-SMP yang menggunakan masjid untuk
belajar tauhid.
Terlihat sekali bahwa ilmu ku sangat sedikit, karena masih mengaji
di tengah mereka-mereka yang usianya jauh di bawah ku. Terlebih sahabat-sahabat
satu desa yang dulu juga teman mengaji formal di Madin sekarang sudah menjadi
Ustadz dan Ustadzah di Madin sedangkan aku masih terus belajar mengaji dan
belajar private tauhid dan hadits pada beliau Ustadz senior di kecamatan.
Maklum selama ini aku masih disibukkan dengan kegiatan sekolah dengan sedikit bumbu
berbaur ilmu agama akhirnya membuat ku tertinggal dari sahabat-sahabat ku. Anak-anak
kecil yang sering kali melirik ku, mungkin keheranan. Meski terbersit
keminderan namun ku coba membuangnya dan tetap semangat!
Beliau menyimak tajwid yang aku baca dengan begitu tlaten, bahkan
tidak segan membenarkan bacaan tajwid ku yang belepotan. Juga tidak jenuh
selalu mengingatkan ku yang sering mengulang kesalahan dalam membaca
hukum-hukum bacaan. Meski apa yang beliau katakan kadang tidak aku fahami namun
lambat laun bacaan ku membaik meski tidak dapat memastikan itu bacaan apa.
Hanya bermodal ilmu titen dan eleng. Titen (cermat) harus dibaca
bagaimana dan eleng (ingat) dengan intonasi indah yang beliau contohkan
untuk membenari bacaan ku dengan tajwid yang keren layaknya qori’.
Yang menarik dari sore ini adalah petuah beliau mendongkrak iman
bagi siapapun yang mendengar. Dengan tutut kata lembut, sabar, penuh hikmah
yang beliau ucapkan yang sering membius para jama’ah masjid apabila beliau
berkutbah.
“Manusia di dunia ini hanyalah sementara. Allah senantiasa
mencintai makhluknya tanpa pandang bulu. Kasih sayang Allah meliputi segala
sesuatu, meskipun dosa yang diperbuat manusia sebesar gunung. Lalu bagaimana
kita dapat mencintainya dengan tulus?”
Aku hanya menggeleng-geleng kepala ku
“Cara kita mencintaNya dengan tulus adalah dengan mencintaiNya dari
lubuk hati paling dalam penuh ketaatan. Bagaimana caranya? Pertama
apabila sesorang dilanda cinta dia akan selalu mengingat dengan orang yang
dicintai kapan pun dan dimanapun, begitu halnya mencintai Allah maka kita harus
mengingatnya dimanapun, kapan pun, dalam kondisi apapun. Kedua
apabila seseorang dilanda cinta dia akan selalu rindu bertemu dengan yang
dicintai, begitu juga dengan cinta pada Allah, misalnya mendatangi masjid untuk
sholat jama’ah apabila adzan dikumandangkan. Ketiga apabila
seseorang dilanda cinta maka akan senang berbincang lama-lama dengan yang
dicintai, begitu halnya cinta pada Allah. Kita akan senang mengkusyukan sholat,
tidak terburu-buru dalam sholat, berlama-lama berdzikir dan banyak berdo’a
padaNya dalam segala urusan. Keempat apabila kita
mencintai seseorang yang jauh kita akan selalu membaca surat-surat atau
nasehat-nasehat hikmah yang dikirimnya lewat pos, sms, dll dan bagaimana kita
mencintaiNya?”
Aku masih termenung, menyimak dengan serius petuah beliau.
“Yaitu dengan menbaca firman-firmannya dalam Al Quran dan senang
mempelajari Hadits Rasulullah saw. Kelima, saat kita mencintai
seseorang kita akan selalu berusaha menyesuaikan diri dengan hal-hal yang
disukai seseorang yang kita cintai, dan wujud kita mencintai Allah dengan menjalankan
perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, memperbanyak membaca Shalawat atas
nabi, dan lain sebagainya. Dan yang terakhir, yang keenam apabila
kita mencintai seseorang kita pasti cemburu bila yang kita cintai dihina,
dipermalukan orang lain, dan wujud dari rasa cinta kita pada Allah adalah
membela Din-Nya bila zaman Rasulullah dulu wujud jihad dengan berperang
melawan orang kafir, sekarang wujud cemburu dan jihad kita adalah menggenggam
teguh Din-Nya dengan tetap bertahan dalam segala kondisi, terutama kondisi
globalisasi saat ini.”
Aku hanya tersenyum sambil sesekali menelan ludah karena benggong,
menelan petuah-petuah itu dari mulut, telinga, hidung, dan mata masuk dalam
hati ku. Seakan udara di sekitar ku terasa banyak oksigen. 16.30 mengaji hari
sore ini ditutup dengan do’a dan satu pesan singkat.
“Allah itu dekat dan sangat dengan dengan orang-orang yang mencintaiNya.”
Kemudian beliau membacakan hadits,”Ya ayuhanas absus salam waat
ngimu tongam, wa silul arham wa solu wanasu niam tathulul janata bissalam”
Haha.... hancur bukan main ejaan arab itu dan sudah PASTI SALAH! karena
itu yang aku ingat tanpa tau tulisan benarnya seperti apa. afwan :D:D
Namun intinya,”Wahai manusia, sebar luaskanlah salam, berilah
orang lain makanan, sholatlah saat orang lain sedang tidur lelap di waktu
malam, maka kamu akan masuk surga dengan salam”
Hari yang berkesan, ku kan
memejamkan mata tuk bersiap mengecas tenaga untuk esok dengan harapan lebih
baik gizi jiwa lewat petuah-petuah beliau dan kisah inspiratif dalam novel
Negeri 5 Menara..
Man Jadda Wa Jadada wa Man Shabara
zhafira ^_^