Isna mengambil sepedanya dan menggayu dengan sekuat tenaga.
"Isna....!" sapa sahabatnya dari kejauhan sambil melambaikan tangan
"hallo... Duluan ya!" sambil tersenyum dan terus menggayuh sepedanya dengan kencang. Terlihat begitu tergesa-gesa sepertinya, padahal Adzan Magrib belum berkumandang namun dia telah memakai mukena dan bawahan mukena serta sajadah yang dimasukkan dalam kranjang sepedanya.
"Ccciiiiitttttt......" bunyi rem sepedanya yang menghentikannya di tanah lapang desanya yang begitu luas, dan sangat menyatu dengan alam. Alam yang sangat asri, dengan sawah yang terbentang luas, pegunungan yang gagah, dan angin yang membelai begitu akrab.
"Sube'hanallah..." ucapnya
dia memandang alam sekitarnya dengan terkagum-kagum, dengan langit yang memalu karena memerah, burung-burung bercanda tawa dengan teman-temannya di langit, dan rumput-rumput yang menari-nari bak penari Salsa di tv.
"Allah... Aku disini melihat senyumMu!" teriaknya sambil berkaca-kaca
"Allah... Allah... Segala puji untukMu. Aku masih di bumi ini karenaMu, Jangan kau uji aku melebihi kemampuan ku!" air matanya mengalir deras
"Allah... Aku bukan Dia yang punya banyak ilmu dan tau banyak cara untuk lebih dekat denganMu. Allah.. Aku bukan mereka yang selalu Kau bimbing dalam lingkungan dzikir atasMu. Aku ini masih kecil"
Tangis Isna itu membangunkan tikus sawah yang asyik tidur bersama anak-anaknya di bawah tanah
"Kalian disini saja ya anak-anak ku, ibu akan melihat siapa yang menagis di atas sana." Ucap Bu tikus
"Cit Bu, cit Bu..." bahasa anak tikus yang artinya 'Iya Ibu'
"Citllala... Cit..lacilacit.. Citut..." jawab Bu Tulus yang artinya 'Hati-hati disni ya Nak'
"Cuttta.. Cit" yang artinya dalam bahasa tikus 'Insha Allah'
Naiklah Bu Tikus ke atas tanah. Sesampainya di atas, Bu Tikus menoleh kanan kiri mencari sumber tangis yang keras itu. Pandangannya berakhir di bawah pohon jati yang berdiri tegak tanpa teman di tanah lapang itu. Disitulah Isna merenung dan berbicara sendiri. Langsunglah Bu Tikus mengendap endap merayap melewati rumput-rumput dan sampailah di dekatnya, namun Isna tak tau.
"Allah... Aku harus belajar dari siapa agar bisa seperti mereka?"
"cit... Cuta.. Cittatatta..." sapa Bu Tikus yang artinya 'Hay anak kecil'
Mendengar suara itu, frekwensi tangisnya merendah, dia menoleh sekitarnya dan dia melihat Bu Tikus telah berada di bawah kakinya. Respect, melompatlah Salsa ketakutan.
"Tikus!!!" sambil kebinggungan mau lari kemana karena sebelah kanannya sawah yang baru ditanami padi. Hmm.. Posisi pencegatan Bu Tikus memang strategis.
"Awas... Kalau mendekat aku lempar sandal jepit! Pergi!! Pergi!!!" sambil menangis tapi untuk kali ini tangis ketakutan
"Tenanglah!! Aku tidak jahat!!" Bu Tikus menenangkan
"Emoh.. Emoh.. Pokonya pergi!" tangis anak kelas 3 SD ini membuat Bu Tikus semakin gugup
"Tenanglah... Aku tidak akan mengapa-apakanmu. Aku hanya ingin bersahabat dengan mu!"
"Huhuhuhu... Pergi!!"
"Tenanglah sebentar, aku akan
mundur 2 m tapi berhentilah menagis!" Bu Tikus pun mundur dan tangis Isna
pun sedikit berhenti dan dia pun kembali duduk dibawah pohon.
"Allah... Aku takut, jauhkan tikus itu dari ku!"
"Hay... Anak kecil. Aku boleh mendekat 1 jengkal?"
"Gak boleh!"
"Aku mohon, aku ingin berbicara padamu!"
"Kalau gak ya nggak!" bentaknya sambil menangis
"Huft... Ya sudah disini saja, aku hanya ingin bertanya kenapa kau sendiri disini dengan mengis? Ini hampir magrib!" tanya Bu Tikus
"Huhuhuhu..." tangis Isna
"Kenapa kau berdo'a dengan berteriak-teriak? Tidak kah kau tau Tuhan mu itu tidak tuli!"
Isna pun mengusap air matanya sejak tadi mengantri untuk dikeluarkan dengan kedua tangannya.
"Tanpa berteriak-teriak Tuhan mu itu mendengar do'a mu!" Bu Tikus begitu serius kali ini
"Aku bimbang Tikus, aku bimbang harus kemana melangkah sedangkan lingkungan ku begitu keruh!" Ucapnya dengan tersengkal-sengkal
"Seperti apa pun keadaanmu, Tuhanmu tau!"
"Kalau Dia tau, kenapa kekeruhan ini masih bertahan?" kembali menangis
"Dia tak kan memberikan ujian di luar kemampuan mu! Jika sekarang kau diberi keadaan itu tidak pantas kau menyalahkannya karena sudah tertulis sebelum kau lahir dan pasti bisa kau lewati!"
"Meski ku terus belajar mengejar mereka dengan otodidak dengan harapan dapat mengatasi setiap masalah ku sendiri tapi tetap saja tak sepandai mereka mendekatkan diri pada Allah dan aku lemah, Tikus! Aku haus, namun tak pernah ada cukup air untuk menyegarkan tenggorokan ku!" ntah berapa cc air mata Salsa yang keluar sore itu
"Sedikit akan menjadi banyak, maka dari sedikit itu terus diasah dan diamalkan. Allah itu Maha Mengerti. Buktinya aku dan keluargaku sampai detik ini masih diberi banyak keturunan meski Pak Tani selalu memburuku, dan berusaha keras membunuhku dengan berbagai cara."
Tangis Isna, berhenti mengiringi adzan magrib yang berkumandang.
"Sudah adzan, berangkatlah ke rumah Allah. Disana akan kau temukan jawaban dari masalahmu. Yakinlah dia dekat, lebih dekat dari urat nadimu!"
"Terimakasih..." Isna bergegas merapikan mukenanya dan menggambil sepeda
"Hmm.. Meski nikmat itu sedikit harus disyukuri, meski lika-liku dunia ini rumit harus tetap dijalani. Tetap yakin Dia tak akan memunahkan keturunan ku sebelum waktunya. Aku percaya Engkau dekat Tuhan." ucap Bu Tikus sambil melihat butaran roda sepeda Isna yang beranjak menjauh darinya menuju salah satu rumah Allah di bumi
"Allah... Aku takut, jauhkan tikus itu dari ku!"
"Hay... Anak kecil. Aku boleh mendekat 1 jengkal?"
"Gak boleh!"
"Aku mohon, aku ingin berbicara padamu!"
"Kalau gak ya nggak!" bentaknya sambil menangis
"Huft... Ya sudah disini saja, aku hanya ingin bertanya kenapa kau sendiri disini dengan mengis? Ini hampir magrib!" tanya Bu Tikus
"Huhuhuhu..." tangis Isna
"Kenapa kau berdo'a dengan berteriak-teriak? Tidak kah kau tau Tuhan mu itu tidak tuli!"
Isna pun mengusap air matanya sejak tadi mengantri untuk dikeluarkan dengan kedua tangannya.
"Tanpa berteriak-teriak Tuhan mu itu mendengar do'a mu!" Bu Tikus begitu serius kali ini
"Aku bimbang Tikus, aku bimbang harus kemana melangkah sedangkan lingkungan ku begitu keruh!" Ucapnya dengan tersengkal-sengkal
"Seperti apa pun keadaanmu, Tuhanmu tau!"
"Kalau Dia tau, kenapa kekeruhan ini masih bertahan?" kembali menangis
"Dia tak kan memberikan ujian di luar kemampuan mu! Jika sekarang kau diberi keadaan itu tidak pantas kau menyalahkannya karena sudah tertulis sebelum kau lahir dan pasti bisa kau lewati!"
"Meski ku terus belajar mengejar mereka dengan otodidak dengan harapan dapat mengatasi setiap masalah ku sendiri tapi tetap saja tak sepandai mereka mendekatkan diri pada Allah dan aku lemah, Tikus! Aku haus, namun tak pernah ada cukup air untuk menyegarkan tenggorokan ku!" ntah berapa cc air mata Salsa yang keluar sore itu
"Sedikit akan menjadi banyak, maka dari sedikit itu terus diasah dan diamalkan. Allah itu Maha Mengerti. Buktinya aku dan keluargaku sampai detik ini masih diberi banyak keturunan meski Pak Tani selalu memburuku, dan berusaha keras membunuhku dengan berbagai cara."
Tangis Isna, berhenti mengiringi adzan magrib yang berkumandang.
"Sudah adzan, berangkatlah ke rumah Allah. Disana akan kau temukan jawaban dari masalahmu. Yakinlah dia dekat, lebih dekat dari urat nadimu!"
"Terimakasih..." Isna bergegas merapikan mukenanya dan menggambil sepeda
"Hmm.. Meski nikmat itu sedikit harus disyukuri, meski lika-liku dunia ini rumit harus tetap dijalani. Tetap yakin Dia tak akan memunahkan keturunan ku sebelum waktunya. Aku percaya Engkau dekat Tuhan." ucap Bu Tikus sambil melihat butaran roda sepeda Isna yang beranjak menjauh darinya menuju salah satu rumah Allah di bumi
0 comments:
Post a Comment
Assalamu'alaikum wr.wb