Perkenalkan nama ku Binti Ummami, aku tinggal di sebuah desa yang
masih sangat sepi karena masuk kawasan pelosok. Bapak ku hanya bekerja sebagai
buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, sedangkan mak ku hanya ibu rumah
tangga yang selalu siap menjadi asisten pribadi bapak baik saat menanam padi
atau mencarikan rumput untuk 2 ekor kambing milik bapak. Apabila sawah garapan
bapak telah memanen hasil dari sawah tersebut akan di bagi dengan Pak Kirman (pemilik
sawah) yang akan mendapat 70% dari hasil panen dan bapak sendiri mendapat 30%
dari hasil tersebut.
“Binti.. golek o bayem neng mburi omah!” teriak mak saat aku sedang
asyik bermain bersama teman-teman ku *Binti cari bayam di belakang rumah*
“Inggeh Mak, Adah’e wonten pundi?” *Iya Ibu, wadahnya ada di
mana?*
“Golek ono dewe, paling neng nduwur lumbu?” sahut mak *Cari
sendiri, mungkin ada di atas lumbung padi*
Aku pun bergegas mengambil wadah yang disebut irek, irek adalah
wadah yang mirip jaring yang terbuat dari bambu. Keluarga kami hidup serba
pas-pasan, bahkan untuk makan sehari-hari kami mengandalkan sayur-sayuran yang
di tanam mak di pekarangan belakang rumah. Meski hampir setiap hari kami hanya
lauk bayam kukus sama sambal, kadang kala hanya ketela.
Pada suatu hari bapak kami sangat putus asa karena Mas Dayani, aku,
dan adik-adik ku hanya selisih 1 tahun dan semua bersekolah sedangkan krisis
ekonomi karena G30S PKI membuat bapak kesulitan menambah penghasilan terlebih
bapak adalah salah satu anggota pengajian Muhammadiyah dimana ketua
Muhammadiyah di dusun saat itu adalah Jegal atau pembunuh PKI berdarah dingin.
Beliau Mbah Dullah tokoh pemberani, entah berapa ratus kepala PKI yang
telah dia penggal dengan pedang miliknya, dan hal itu membuat bapak tak dapat
leluasa mencari nafkah karena ancaman yang datang sewaktu-waktu.
Saat itu darah seperti air dalam kubangan, dimana-mana darah. Bahkan di
gang-gang banyak sekali bekas-bekas darah serta potongan kepala atau anggota
tubuh yang masih berserakan. Hingga sungai kecil pun tak lagi bening karena
berubah warna menjadi merah, bekas darah pemenggalan. Kadang saat pagi masih
bisa bercakap-cakap dengan tetangga, bisa jadi siang atau sore kepala tetangga
sudah berada di depan rumah dan tubuhnya tertancap di bambu runcing yang di
tanam di depan rumahnya. Suasana yang sangat menyeramkan.
Sebenarnya bapak pernah akan diangkat menjadi gegawai negeri di
sekolah rakyat, karena bapak adalah pemuda paling cerdas diantara teman-teman
sebayanya bahkan sampai lanjut usia pun daya hitung serta kemampuan bapak dalam
menghafal masih sangat kuat, namun sayang pegawai negeri saat itu gajinya
sangat minim mungkin hanya dapat digunakan untuk makan 2 minggu apalagi saudara
ku banyak.
Saat selesai pengajian, bapak mengadukan masalahnya pada Mbah
Dullah
“Mbah Dullah..” sapa bapak
“Ono opo Soetawi?” *Ada apa Soetawi?*
“Mbah, anak kulo katah, lan sedoyo sekolah. Ing wanci negara ngeten
niki sak estu kulo ragu saget mbiayai lare-lare nganti lulus“ Ungkap bapak ku
dengan menunduk *Mbah, anak saya banyak dan semuanya sekolah. Dalam kondisi
negara kita yang seperti ini saya ragu dapat membiayai mereka sampai lulus*
“Ora usah binggung! Gusti Allah kuwi Sugeh!” sahut Mbah Dullah *Tidak
usah binggung! Allah itu Kaya*
“ Sugeh pripun, Mbah?” *Kaya bagaimana, Mbah?*
“Bocah saiki sok seng bakal nerus ake perjuangan, masalah biaya ojo
dipikir nemen-nemen. Gusti Allah kuwi sugeh, bondho neng ndonyo iki akeh karek
awake dewe ki gelem nggolek opo ora.” *Anak sekarang nantinya akan
meneruskan perjuanagan, soal biaya tidak usah dipikir terlalu dalam. Allah itu
kaya, harta di dunia ini banyak tinggal kita mau atau tidak mencarinya*
Sejenak bapak terdiam...
“Soetawi!” Mbah Dullah menepuk pundak bapak
“Inggeh Mbah” *Iya Mbah*
“Gusti Allah bakal ngabulne donggo mu, seng penting usaha ojo lali
pangeleng-eleng opo wae seng ono Al Quran lan pesane kanjeng nabi Muhammad” *Allah
pasti mengabulkan do’a mu, yang penting usaha dan jangan lupa pesan yang
terkandung dalam Al Quran dan Asunnah*
“Ngapunten mbah, kulo nggeh jerih kaleh ukoro PKI akhir-akhir niki”
*Maaf mbah, saya juga takut dengan ulah PKI akhir-akhir ini*
“Gusti Allah seng bakal njogo awakmu, ora usah wedhi!” *Allah
yang akan menjagamu, tidak usah takut*
Ucapan Mbah Dullah itu seakan menjadi obor semangat bapak untuk
tetap menyekolahkan kami. Semenjak itu bapak dan mak Babat Alas (pergi ke hutan)
dan membuat Gogo (ladang di atas gunung). Disana bapak dan mak membangun gubuk
di atas pohon agar tidak diganggu binatang buas, yah maklum saat itu pegunungan
selatan masih angker konon masih banyak penghuninya baik binatang buas maupun
makhluk halus sekaligus menjaga ladang.
Berminggu-minggu bapak dan mak tinggal di hutan dan setiap pulang
selalu membawa hasil bumi yang alhamdulillah selalu dapat kami jual untuk biaya
sekolah. Alhamdulillah aku dan Sulasih adik bungsu ku dapat menyelesaikan S1
sedangkan Mas Dayani, Sumiatin, dan Sri dapat menyelesaikan pendidikan sampai
jenjang SMA. Semua itu berkat kerja keras bapak hingga kami menjadi orang
berkecukupan dan melahirkan anak-anak cerdas. Kini cerita itu akan selalu
menjadi sejarah yang tak akan pernah kami lupakan.
0 comments:
Post a Comment
Assalamu'alaikum wr.wb