Hujan dibalik mendung menghantarkan
sunyi dalam rintihan siang kelabu. Seorang anak desa duduk di depan jendela,
mencorat-coret embun yang menempel di balik kaca bekas hujan yang sejak
semalaman.
"Terlihat begitu asyik kau rupanya!" suara dari balik dapur tua yang
telah reot, dan perabotan yang tak lagi dapat dibilang layak
"Hihihi... Ini aku, ini ibu, ini ayah" tawanya yang sedang menghayal
"Kenapa kau ini, ayo jual petai ini di pasar!" bisik Si Mbah dengan
begitu hangat
"Astagfirullahal'adzim... iya Mbah"
Hakim pun bergegeas mengambil sepeda tua yang telah berkarat yang bersandar
digedek (tembok dari rajutan bambu tipis).
Perkenalkan dia adalah Muhammad Hakim Ramadhan. Lahir di Saudi Arabia, 7 tahun
yang lalu. Sejak lahir dia tidak tau siapa keduanya orang tuanya. Karena ibunya
menjadi TKI sejak berusia 16 tahun dan ditahun kepulangannya dia kembali ke
kampung dengan membawa hakim kecil. Lalu kembali lagi ke Arab dan sekarang
keberadaannya tak lagi diketahui. Banyak orang menyebut Hakim anak Import,
yah..Terlihat kasar memang, namun identitas itu tak dapat hilang bak tittle
seseorang yang telah menjadi sarjana.
"Kring.. Kring..." bel nyaring itu menandakan bahwa dia telah bersiap
menjajakan dagangannya.
"Ibu, ayah, aku disini merindukanmu! Allahuakbar!!" Itulah
teriakannya dengan berkaca-kaca setiap kali akan mengendarai sepedah tua
warisan almarhum Mbah Paijan, mbah kakungnya.
Karena rumah yang berada di tengah persawahan, membuatnya harus melewati jalan
kecil ditengah sawah sambil menuntun sepedahnya,"Petai bakar Enak... Petai
bakar Enak"
Sesekali orang-orang yang sedang Ndaud (mencabuti rumput ditengah padi)
memanggilnya dan membeli petai dagangannya. Kadang pula malah diajak makan
bersama mereka. Pagi itu Lek Jinem dan keluarganya sedang mendaud sawah.
"Petai... Petai..." suara Hakim terdengar dari timur laut
"Petai Le!!"
"Iya Lek, sebentar..." bergegas iya naik sepedah dan menggayuhnya
sekuat tenaga
"huh.. Hah.. Huh.. Hah... Alhamdulillah sampai" nafasnya
tersental-sental
"Ini Lek, beli berapa?"
"loro ae Le!"
Diambilkannya oleh Hakim, sambil mengambil dan memilihkan petai terbaik sambil
berdendang
Keruh hati memandang padi
Buih kasih yang ku nanti
mengambang hangat dalam
rindu peluk kasih mu
Tikus-tikus sawah itu ikuti ku
Mencari jejak yang terbelenggu gelembung waktu
menuai rindu yang kian membeku
"bernyanyi apa cah bagus?" sambil mengelus rambut yang hitam lebat
blesteran Arab-Jawa itu
Hakim pun menangis, hmm.. Semoga Allah selalu menjaga dan memberi masa depan
yang baik untuk anak-anak TKI yang bernasib seperti hakim. Amien
Rindu yang Membeku
Hujan dibalik mendung menghantarkan
sunyi dalam rintihan siang kelabu. Seorang anak desa duduk di depan jendela,
mencorat-coret embun yang menempel di balik kaca bekas hujan yang sejak
semalaman.
"Terlihat begitu asyik kau rupanya!" suara dari balik dapur tua yang
telah reot, dan perabotan yang tak lagi dapat dibilang layak
"Hihihi... Ini aku, ini ibu, ini ayah" tawanya yang sedang menghayal
"Kenapa kau ini, ayo jual petai ini di pasar!" bisik Si Mbah dengan
begitu hangat
"Astagfirullahal'adzim... iya Mbah"
Hakim pun bergegeas mengambil sepeda tua yang telah berkarat yang bersandar
digedek (tembok dari rajutan bambu tipis).
Perkenalkan dia adalah Muhammad Hakim Ramadhan. Lahir di Saudi Arabia, 7 tahun
yang lalu. Sejak lahir dia tidak tau siapa keduanya orang tuanya. Karena ibunya
menjadi TKI sejak berusia 16 tahun dan ditahun kepulangannya dia kembali ke
kampung dengan membawa hakim kecil. Lalu kembali lagi ke Arab dan sekarang
keberadaannya tak lagi diketahui. Banyak orang menyebut Hakim anak Import,
yah..Terlihat kasar memang, namun identitas itu tak dapat hilang bak tittle
seseorang yang telah menjadi sarjana.
"Kring.. Kring..." bel nyaring itu menandakan bahwa dia telah bersiap
menjajakan dagangannya.
"Ibu, ayah, aku disini merindukanmu! Allahuakbar!!" Itulah
teriakannya dengan berkaca-kaca setiap kali akan mengendarai sepedah tua
warisan almarhum Mbah Paijan, mbah kakungnya.
Karena rumah yang berada di tengah persawahan, membuatnya harus melewati jalan
kecil ditengah sawah sambil menuntun sepedahnya,"Petai bakar Enak... Petai
bakar Enak"
Sesekali orang-orang yang sedang Ndaud (mencabuti rumput ditengah padi)
memanggilnya dan membeli petai dagangannya. Kadang pula malah diajak makan
bersama mereka. Pagi itu Lek Jinem dan keluarganya sedang mendaud sawah.
"Petai... Petai..." suara Hakim terdengar dari timur laut
"Petai Le!!"
"Iya Lek, sebentar..." bergegas iya naik sepedah dan menggayuhnya
sekuat tenaga
"huh.. Hah.. Huh.. Hah... Alhamdulillah sampai" nafasnya
tersental-sental
"Ini Lek, beli berapa?"
"loro ae Le!"
Diambilkannya oleh Hakim, sambil mengambil dan memilihkan petai terbaik sambil
berdendang
Keruh hati memandang padi
Buih kasih yang ku nanti
mengambang hangat dalam
rindu peluk kasih mu
Tikus-tikus sawah itu ikuti ku
Mencari jejak yang terbelenggu gelembung waktu
menuai rindu yang kian membeku
"bernyanyi apa cah bagus?" sambil mengelus rambut yang hitam lebat
blesteran Arab-Jawa itu
Hakim pun menangis, hmm.. Semoga Allah selalu menjaga dan memberi masa depan
yang baik untuk anak-anak TKI yang bernasib seperti hakim. Amien
0 comments:
Post a Comment
Assalamu'alaikum wr.wb